Kini orang tua semakin peduli dengan karakter anak, sejak mulai  dipopulerkannya konsep kecerdasan emosi, Para orang tua semakin sadar  dan yakin bahwa keberhasilan anak tidak lagi cukup dengan ketrampilan  teknis dan pengetahuan ilmiah, namun juga dengan kemampuan pengendalian  diri dan hidup bermasyarakat.
Secara garis  besar ada dua hal utama dalam kecerdasan emosi, yaitu mengenali dan  mengelola emosi. Langkah pertama mengajarkan kecerdasan emosi adalah  mengenalkan berbagai jenis emosi kepada anak. Bagaimana caranya?
Tips  sederhana dalam mengajarkan kecerdasan emosi adalah dengan sering  menyebutkan berbagai jenis emosi kepada anak. Misalnya anak sedang  cemberut, maka sebagai orang tua kita dapat menegaskan situasi emosi  tersebut kepada anak, misalnya dengan menanyakan, Adik cemberut, apa  sedang kesal? Adik kesal apa karena Ibu melarang nonton TV? Dengan  demikian anak dipandu untuk terbiasa mengenali kondisi emosi dirinya dan  penyebab munculnya emosi itu.
Cara lain adalah dengan  menunjukkan berbagai gambar, atau mengomentari situasi baik di majalah,  TV, maupun media lainnya. Misalnya ketika melihat TV di mana ada tokoh  yang sedang sedih karena dinakali oleh tokoh lainnya (hal ini sering  muncul di film kartun), maka kita berkomentar, “Aduh, kasihan sekali  si anu, pasti dia sangat sedih karena tindakan nakal temannya itu. Hal  yang sama dapat dilakukan pula saat membaca dongeng. Orang tua perlu  berkali-kali menyebutkan situasi emosi para tokoh dalam cerita tersebut.  Selain memperkenalkan berbagai jenis emosi, pada saat yang sama anak  juga belajar hal-hal yang menyebabkan munculnya emosi tersebut, misalnya  perasaan sedih salah satu tokoh cerita karena ditipu atau dihina tokoh  yang lain. Orang tua juga dapat pula memberikan penilaian moril atas  situasi tersebut, misalnya menghina adalah suatu perbuatan buruk dan  jahat, sehingga anak menjadi tahu nilai moril dari suatu perilaku. Dalam  hal ini secara langsung kita juga telah mengembangkan kecerdasan  spiritual anak (kecerdasan dalam mengenali dan mengelola nilai-nilai).
Ketika  orang tua marah, sedih, bingung, kesal, gembira, dan situasi emosi  lainnya, orang tua juga perlu menyampaikan alasannya. Misalnya, seorang  anak bermain dan tidak membereskan mainannya setelah selesai, sang Ibu  bisa berkata, “Adik, Ibu sangat kesal melihat mainan yang berantakan,  karena Ibu menjadi repot membereskannya. Ibu akan senang kalau Adik  membantu Ibu membereskan mainan sendiri. Dengan pernyataan itu sang anak  akan belajar mengenali situasi emosi ibunya (kesal), sebab munculnya  (mainan berantakan), dan mengapa sebab tersebut menyebabkan munculnya  emosi tertentu (kesal karena repot membereskannya). Perlu ditunjukkan  ekspresi yang sesuai dengan emosi saat melatih anak kecil (kalau kesal  ya jangan tersenyum, namun tunjukkan wajah serius dan cemberut). Semakin  dewasa nanti semakin mungkin menyampaikan emosi dengan ekspresi yang  berlawanan misalnya dalam bentuk sindiran (kesal, namun tersenyum).
Apabila  anak sedari dini usia telah sering dilatih untuk peka dalam mengenali  emosi, maka semakin dewasa akan semakin mudah mengenali emosi, dan  akhirnya dapat menyesuaikan sikapnya dengan situasi emosi yang ada.
Sumber
http://anjasyaudah.dagdigdug.com
Friday, 19 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

 
 


 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Post a Comment